Negeri ini bernama Indonesia, dan bukan Endonesia

•January 10, 2009 • 2 Comments

Seorang Eropa bertanya padaku saat di Frankfurt: “Where’ you come from?”

Aku menjawab: “I come from Indonesia”

Orang Eropa: “Aha, from Endonesa, a beautiful place to be visited”

Aku menjawab seraya sambil tersenyum: “No, I come from Indonesia a beautiful place to be visited, not Endonesia”.

Orang Eropa: “Sorry, that’s my fault in spelling your country’s name”

Aku menjawab: “that’s OK”.

Indonesia tetap menjadi Indonesia, dan bukan Endonesia. Indonesia, negeri yang mulai kehilangan warna hijaunya berganti dengan warna coklat, negeri yang mulai kehilangan warna birunya berganti dengan warna hitam legam, dan negeri yang mulai kehilangan warna putihnya berganti warna merah menyala atau bahkan abu-abu. Itulah Indonesia sekarang. Nafas semakin sesak, jelaga-jelaga itu semakin mudah menempel dikulit dan semakin sulit untuk dibersihkan. Satu hirupan nafas, mengendapkan jutaan kotoran di hidung, mentari dengan gagahnya membakar raga dan jiwa, mengucurkan setiap keringat yang menimbulkan bau bermacam rupa. Namun semuanya tidak akan merubah Indonesia menjadi Endonesia. Aku masih fasih bisa membedakan huruf I dan E. Jadi aku tetap bisa mengucapkan dengan lantang: I come from INDONESIA. Bukan Endonesia, bukan Indonesyia, bukan Endonesyia, apalagi Endonesyiah.

Perjalanan 22 jam lebih di udara bersama salah satu maskapai penerbangan negeri timur tengah disertai pengalaman-pengalaman menarik bersama para tenaga kerja Indonesia yang mengadu nasib, mengais dinar, atau menjemput jodoh di negeri yang secara ekonomi sangat makmur, membuat aku merenung akan masa depan negeri yang konon sangat makmur pada jaman dahulu kala. “SELAMAT DATANG PAHLAWAN DEVISA”, tulisan yang “konon” menggambarkan ucapan terima kasih dan bangga pemerintah sebagai representasi rakyat Indonesia akan kinerja sangat baik yang dimiliki oleh para tenaga kerja Indonesia ini. Ditengah kekurangan yang mereka miliki, semangat baja ingin merubah nasib kemiskinan yang melanda keluarga mereka, membuat mereka bertekad kuat untuk “hijrah”.

Negeri yang benama Indonesia yang di salah satu syair lagu digambarkan sebagai tempat di mana tongkat kayu dan batu bisa menjadi tanaman kini sedang sendu sedan. Negeri yang digambarkan sebagai zamrud khatulistiwa dengan gugusan kepulauan terbesar di dunia dengan lautan yang kaya akan sumber alam yang semenjak kemerdekaan sudah mulai terampas oleh sikap-sikap rakus yang menjadi sifat yang diturunkan oleh penjajah negeri ini, yang kini semakin mengakar kuat hampir disetiap jiwa-jiwa rakus, di negeri dimana setiap orang merasa mampu menjadi pemimpin.

Negeri dengan 1000 orang yang mengaku mampu menjadi pemimpin, negeri yang pernah dipimpin oleh seorang orator teknokrat, yang mungkin tidak pernah memegang senapan melawan penjajah, yang meninggal dengan meninggalkan 4 istrinya yang sah secara hukum dan konsep angan-angan NASAKOM-nya; negeri yang pernah dipimpin oleh tirani kapitalis sang jenderal bintang lima selama puluhan tahun yang menggurita disetiap aspek kehidupan rakyatnya, memperkaya setiap anak cucunya yang tak memiliki kemampuan akademik apa-apa; negeri yang pernah dipimpin seorang teknokrat kapal terbang yang melepaskan satu bagian dari negeri yang cantik untuk memerdekaan diri sendiri; negeri yang pernah dipimpin oleh seorang yang dianggap “wali” oleh para pengikutnya yang bodoh, yang tak berdaya yang sulit membedakan antara satu jari telunjuk, dengan dua jari telunjuk orang lain, yang semakin memperparah keadaan negeri ini; negeri yang pernah dipimpin oleh orang yang mengaku dekat dengan “Wong cilik” namun “wong cilik” tidak pernah merasa dekat dengannya, menjual aset-aset hajat hidup orang banyak, yang menopang nama orang tuanya yang dulu menjadi presiden dengan ciri khas “no comment-nya”; dan kini kita sedang dipimpin oleh seorang yang disebut sebagai pemimpin yang Tebar Pesona oleh lawan politiknya yang juga berlindung dibalik ketiak pesona bapaknya, yang diberitakan semakin membuat rakyat kecil di negeri ini semakin menjerit; negeri dengan orang yang saling berlomba-lomba untuk menjatuhkan lawan politiknya, negeri dengan 1000 orang yang memiliki standar ganda, dan negeri yang mulai tercakar oleh tirani minoritas yang bodoh, tak pernah jujur, dan selalu berdusta dengan hati nurani mereka. Dan kini, negeri ini seakan sedang menunggu seorang satria yang sesuai angan-angan “sang jayabaya”.

1000 spanduk sang “katanya” satria mengotori di negeri yang konon dulunya cantik, disetiap sudut kota dinegeri yang bernama Indonesia. Dan para penjilat-penjilat dan orator-orator pembohong juga menggurita disetiap tulisan mereka di media. Lidah mereka keluh, ketika ditanya apa yang telah mereka berikan untuk bangsa dan negara ini. Dengan enteng mungkin mereka menjawab dalam hati: Kami telah menebarkan kebohongan dan kebencian, kami telah mengkorupsi setiap hak rakyat, menyedot hak-hak orang miskin, menebar jelaga-jelaga hitam kepada setiap orang yang jujur dan amanah, agar niat bersih dan lurus mereka tak terlihat. Mata kami merah, bukan karena kami menangis, atau sedih akan keadaan negara ini, tapi mata kami merah karena terjaga untuk menyiapkan rencana bagaimana menghancurkan dan memecah belah bangsa ini melalui tulisan kami. Uang dari sang penjajah selalu menjadi bagian dari aliran darah kami, namun kami menutupinya untuk kepentingan kami. Halal dan haram tak ada lagi dalam kamus kami. Karena halal dan haram hanya dimiliki oleh orang-orang bersorban dan berjanggut atau wanita-wanita berjilbab dan berniqab atau orang-orang jujur dan tegas serta benar-benar idealis yang menjadi musuh kami.

Negeri yang direbut yang mengorbankan jiwa jutaan para pejuang yang syuhada, yang di hiasi pekik “Allahu Akbar” atau “Merdeka” dan tiada pekikan lain. Indonesia itu tetap Indonesia; yang mendapatkan kemerdekaan atas berkat rahmat Allah; dan bukan Indonesyia, bukan Endonesyia, apalagi Endonesyiah.

Mengapa Tidak Mencoba Ekonomi Syari’ah?

•January 10, 2009 • Leave a Comment

“Setelah era keruntuhan Uni Sovyet dengan komunisnya, kapitalis menjadi “raja” untuk beberapa waktu lamanya. Cina dengan sistem komunisnya mencoba berusaha menjadi penanding “si raja” ini. Tirani “sang tirai bambu” cukup berbicara beberapa saat dengan cadangan devisa yang diberitakan sebagai terbesar di dunia, namun perekonomian Cina pun tak lepas dari guncangan akibat produk-produk ekonomi di negara komunis itu pun tidak lepas dari masalah, dari masalah standarisasi hingga masalah bahan baku yang digunakan”

Paul Krugman seorang professor dari Princeton University dan kolumnis New York Times kini menjadi rujukan dalam formulasi dan analisis tentang bagaimana skala ekonomi mempengaruhi bentuk perdangangan dan lokasi aktivitas ekonomi dunia. Teriakan dia tentang krisis finansial di Amerika Serikat jauh sebelum ini terjadi, kini tidak diartikan sebagai sikap pesimistis seorang ekonom. Dan sistem ekonomi kapitalis kini terbukti rusak. Terjangan krisis ekonomi yang melanda Amerika Serikat kini menjadi berita hangat di seluruh surat kabar dunia. Para pembeo dan penyembah kapitalis kini semakin gigit jari. Imbas kejatuhan sistem ekonomi kapitalis yang dulu diagung-agungkan oleh banyak para “Mafia Barkeley” sangat terasa di seluruh belahan dunia yang menjadikan “sang raja kapitalis” sebagai kiblat sistem ekonomi mereka, tidak terkecuali Indonesia. “si raja” yang disertai hasrat hegemoninya, tumbang oleh pikiran-pikiran rakus dan jiwa tidak amanah yang dimiliki oleh para pelaku ekonominya yang tentunya kesemuanya merepresentasikan bagaimana kualitas penduduk mereka yang sebenarnya. Etos kerja “si miskin” yang tinggi ternyata tidak bisa secara nyata mengurangi tingkat kemiskinan ketika dihadapkan pada ketidakjelasan aturan, pejabat-pejabat lembaga keuangan yang rusak, dan rakus yang kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang tidak jujur dan amanah yang lebih mementingkan kepentingan perutnya sendiri.

“Negeri” yang dibangun oleh jiwa-jiwa konsumtif dan gila harta para penduduknya, serta pembangunan negara yang dibangun dari kebijakan politik “standar ganda”, yang merupakan ciri sikap orang-orang yang pengecut dan curang, kini mengalami kebangkrutan. Keyakinan bahwa uang dapat berbiak dengan sendiri yang diyakini para pelaku ekonomi kapitalis melalui bursa-bursa saham justru menyalahi prinsip bahwa ekonomi harus ditunjang oleh produktivitas. Rangking AA+ yang diberikan lembaga pemberi peringkat kepada lembaga-lembaga keuangan di negeri kapitalis itu ternyata tidak memberikan pengaruh, kecuali kenyataan bahwa lembaga tersebut bertransaksi dengan lembaran-lembaran kertas yang notabene sampah yang tak berguna. Kebangkrutan yang melanda, kini menyebabkan penduduknya harus mulai mengencangkan tali ikat pinggang, mulai bersikap hati-hati dalam membelanjakan uang-uang mereka, mulai memikirkan mengapa “si raja” menjadi begini dengan cara bercermin dengan pengalaman masa lalu mereka.

Kini, setelah tampak kerusakan dari sistem sosialis dan kapitalis, ekonomi syari’ah menjadi salah satu pilihan utama pengganti kedua sistem yang terbukti banyak memiliki kelemahan dan akhirnya mengalami keruntuhan. Proposal untuk menggunakan alternatif selain sistem ekonomi kapitalis yang dianut Indonesia dengan sistem ekonomi syari’ah mulai diinisiasi oleh para ekonom muslim yang bertakwa, amanah, berfikir progresif dan tak berkiblat kepada kapitalis dan komunis yang sadar dengan kerusakan kedua sistem tersebut.

Sistem syari’ah adalah suatu sistem ekonomi yang menawarkan sistem bagi hasil dan jauh dari praktek riba, dengan investasi pada sektor riil yang halal, baik dan benar. Sistem ekonomi non-ribawi adalah salah satu kunci kestabilan ekonomi suatu negara. Pendirian bank syari’ah dan bergesernya bank-bank konvensional yang menganut sistem riba menjadi sistem syari’ah menjadi salah satu indikator mulai diperhitungkannya sistem ekonomi syari’ah untuk bisa diterapkan dalam sistem ekonomi di Indonesia. Sistem syari’ah telah terbukti paling minim mengalami guncangan saat krisis ekonomi di Asia berlangsung beberapa waktu lalu. Pemberdayaan sumber-sumber yang melibatkan hak hidup orang banyak (misalkan air, energi dan sumber alam) benar-benar dikuasai oleh negara dalam arti sesungguhnya, dan pemanfaatannya benar-benar untuk rakyat dalam arti sesungguhnya. Kita tidak membutuhkan tafsiran-tafsiran para pecundang ekonomi dan penjajah-penjajah kapitalis yang berusaha membelokkan dan membuat tafsiran-tafsiran yang notabene untuk keperluan perut mereka sendiri.

Dalam sistem ekonomi syari’ah juga dilibatkan pemberdayaan zakat yang apabila dikelola secara benar, profesional, terarah, dan optimal diyakini dapat meminimalisasi jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Beberapa ahli hukum berusaha memberikan sumbangsihnya dalam meningkatkan pemberdayaan zakat melalui peningkatan kualitas undang-undang yang mengatur perzakatan di Indonesia dengan tidak bertentangan sama sekali dengan hukum dasar yang dari perzakatan itu sendiri yang telah diatur dalam Al-Furqan (Al-Qur’an Al Karim –Pen-). Selain itu, tumbuhnya lembaga-lembaga Baitul Maal semakin menunjukkan kesadaran masyarakat akan lebih amannya bertransaksi dengan sistem ekonomi syari’ah. Perputaran uang pada sektor riil yang halal, baik, dan benar menunjukkan bahwa sistem ekonomi syari’ah hanya memiliki prinsip input dan output haruslah berasal dari sesuatu yang halal, baik, dan benar, dan memakai komponen-komponen transaksi yang jujur, baik, dan amanah.

Kini semuanya berpulang kepada para pemegang kebijakan di negeri yang bernama Indonesia. Pengalaman keruntuhan dan hegemoni sistem kapitalis, hendaknya menjadi cerminan dalam menentukan langkah 250 juta penduduk Indonesia ke depan. Krisis ekonomi yang dilanda negeri ini hanya bisa dilakukan ketika setiap orang sadar akan pentingnya halal dan haram dalam usaha memasukkan rezeki mereka ke dalam perut-perut mereka dan tentunya keluarga-keluarga mereka. Jadi, mengapa tidak mencoba ekonomi syari’ah?.

Tanjung Pening, Kepulauan Risau: Potret Kecil Kemiskinan Indonesia.

•January 10, 2009 • Leave a Comment

Terinspirasi dari plesetan seorang rekan (http://munama.multiply.com/), maka catatan perjalanan ku ke Provinsi yang ke 33 di negara kesatuan Republik Indonesia ku beri judul seperti itu. Provinsi yang masih berusaha berbenah, provinsi yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa, namun kemiskinan yang luar biasa pula. Provinsi Kepulauan Riau, dengan ibukota provinsi Tanjung Pinang. Provinsi yang seharusnya menjadi provinsi yang mungkin lebih kaya dari Jakarta, namun kenyataan ironis menyebabkan aku harus berlapang dada, dan menunduk malu, karena provinsi tercatat sebagai provinsi yang miskin. Walapun begitu, laju ekonomi sektor riil sangat terasa. Uang berputar sangat cepat, terlihat lebih sehat. Perdagangan dan jasa membuat hiruk pikuk pelabuhan lebih terasa dinamis. Angin dari laut pun menemani dinamika itu. Ekonomi berjalan didorong oleh produktivitas para pelaku ekonominya. Berjualan otak-otak ikan sotong dan tenggiri, kerupuk pedas ala Tanjung Pinang, porter pelabuhan yang menggunakan becak-becak yang didesain sedemikian rupa, dan lain-lain. Ku bahagia ketika fenomena yang kulihat disana pelaku ekonomi tidak berputar di lantai-lantai bursa versi ekonomi kapitalis yang dilakukan oleh para pelaku ekonomi yang meyakini uang itu dapat berbiak dengan sendirinya dan melawan prinsip bahwa ekonomi harus ditunjang oleh produktivitas. Itulah ekonomi yang sehat.

Namun ironis, ekonomi yang berjalan secara sehat, ternyata terkotori oleh angka 54 juta rupiah per hari yang dihabiskan untuk kebutuhan rapat para wakil rakyat di daerah yang dilakukan di hotel-hotel berbintang. Tak jauh dari sana sebuah gedung megah milik anggota dewan seakan tak tersentuh untuk keperluan dalam proses menghasilkan kebijakan-kebijakan aturan untuk kemajuan daerah tersebut. Wakil rakyat dimana-mana memang sama saja.

Provinsi yang memiliki Pulau Batam yang tersohor, yang didesain untuk menjadi pulau yang maju oleh seorang teknokrat sekaliber B.J. Habibie, pun sampai sekarang ternyata masih tak mampu menjadi pulau sekaliber Singapura. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa pulau ini memang sangat syarat akan kemiskinan, pelacuran, korupsi, pelecehan seksual, dan sangat miskin akan sumber daya manusia yang berkualitas. Di sana sini masih mudah ku lihat anak-anak kurus tak terawat, ingus-ingus keluar dari hidung-hidung mereka. Dan tanpa malu mereka bersihkan dengan baju seragam sekolah mereka.

Penyakit kelamin seperti kencing nanah sangat lazim disini. “Pelacur di batam jauh lebih murah, cantik, mainnya mantap, dan berkualitas, Mas, makanya orang-orang Singapur lebih suka pakai orang Batam” sambut seorang penduduk pribumi ketika kami berdiskusi tentang Batam. Murah?. Cantik?. Mantap?. Berkualitas?. Ya Allah, inilah kenyataan. Negeri bernama Indonesia yang cantik dengan gugusan pulau yang indah hanya dinilai berkualitas dari selangkangan perempuan. Ironis. Mereka benar-benar tidak terlindungi. Sayang, pintu-pintu amoral yang berusaha ditutup oleh anggota parlemen sebagian ditolak orang-orang amoral dan permisif, tidak tanggung-tanggung, seorang gubernur pun kembali menjadi seorang permisif dan amoral. Maka tak heran kalau negeri Indonesia hanya bernilai dari selangkangan perempuan yang murah dan berkualitas. Ingin rasanya ku tampar muka orang-orang permisif dan amoral itu, namun sayangnya aku belum sanggup. Jangan salahkan pemegang kebijakan kalau ternyata korban kejahatan amoral adalah kita, anak-cucu kita, atau mungkin ibu-ibu kita, kalau ternyata pintu-pintu amoral yang berusaha ditutup oleh mereka ditolak juga sama kita. Ya, Allah, Na’udzubillah min dzalik.

Kualitas pendidikan pun masih jauh dari harapan. Tatapan kosong anak-anak Batam seakan menunjukkan kurangnya harapan mereka untuk maju. Mungkin sebagian dari mereka mencukupkan diri dengan ijazah SMA setelah itu bekerja atau menikah, sebagian dari mereka tidak jarang hamil di luar nikah. Pendidikan kita memang sudah permisif dan amoral. Otak-otak mereka Jauh….jauh sekali kualitas mereka dari anak-anak sekolah sebaya dari tanah Jawa. “Saya ingin jadi dokter, Pak. Saya ingin jadi arsitek, Pak” sambut dua anak ketika aku tanya apa cita-cita mereka. Bangganya aku mendengar jawaban dari mereka semua. Jawaban yang hampir sama ketika dulu Papa menanyakan apa cita-citaku kelak. Gedung sekolah mereka jelek, lapangan disekolah mereka becek. Namun, kesemuanya tidak menyurutkan mereka untuk tetap bersekolah. Pendidikan itu dedikasi dan cinta. Ku angkat topi untuk para guru yang mengajar dengan dedikasi dan cinta mereka.

Semoga Allah –Azza Wa Jalla- memberikan kesempatan kita untuk memperbaikinya bersama.

-Khomaini Hasan-

Research Plagiarism

•January 24, 2008 • Leave a Comment

Nature 451, 397-399 (24 January 2008) | doi:10.1038/451397a; Published online 23 January 2008

A tale of two citations

Mounir Errami1 & Harold Garner2

  1. Mounir Errami is in the Division of Translational Research Department, The University of Texas Southwestern Medical Center, 5323 Harry Hines Boulevard, Dallas, Texas 75390-9185, USA.
  2. Harold Garner is in the McDermott Center for Human Growth and Development, The University of Texas Southwestern Medical Center, 5323 Harry Hines Boulevard, Dallas, Texas 75390-9185, USA.
Abstract

Are scientists publishing more duplicate papers? An automated search of seven million biomedical abstracts suggests that they are, report Mounir Errami and Harold Garner.

With apologies to Charles Dickens, in the world of biomedical publications, “It is the best of times, it is the worst of times”. Scientific productivity, as measured by scholarly publication rates, is at an all-time high1. However, high-profile cases of scientific misconduct remind us that not all those publications are to be trusted — but how many and which papers? Given the pressure to publish, it is important to be aware of the ways in which community standards can be subverted. Our concern here is with the three major sins of modern publishing: duplication, co-submission and plagiarism. It is our belief that without knowing whether these sins are becoming more widespread, the scientific community cannot hope to effectively deter or catch future unethical behaviour.

A tale of two citationsD. PARKINS

There are legitimate and illegitimate reasons for two scientific articles to share unusual levels of similarity. Some forms of repeated publication are not only ethical, but valuable to the scientific community, such as clinical-trial updates, conference proceedings and errata. The most unethical practices involve substantial reproduction of another study (bringing no novelty to the scientific community) without proper acknowledgement. If such duplicates have different authors, then they may be guilty of plagiarism, whereas papers with overlapping authors may represent self-plagiarism. Simultaneous submission of duplicate articles by the same authors to different journals also violates journal policies.

Previous studies that have tried to gauge the level of unethical publishing have mostly relied on small surveys of specific communities. One of the largest to date used text-matching software to trawl more than 280,000 entries in arXiv, an open-access archive of mathematics, physics, computer science, biology and statistics papers. The study suggested a low number of suspected acts of plagiarism (0.2% of arXiv papers), but a much higher number of suspected duplicates with the same authors2 (10.5%). In 2002, an anonymous survey of 3,247 US biomedical researchers3 asking them to admit to questionable behaviour revealed that 4.7% admitted to repeated publication of the same results and 1.4% to plagiarism.

The duplication of scientific articles has been largely ignored by the gatekeepers of scientific information.

In general, the duplication of scientific articles has largely been ignored by the gatekeepers of scientific information — the publishers and database curators. Very few journal editors attempt to systematically detect duplicates at the time of submission. The US National Library of Medicine, based in Bethseda, Maryland, curates the primary biomedical citation index, Medline, and currently reports fewer than a thousand cases of duplication since the 1950s, discovered mainly by serendipity. Yet if the results of the anonymous survey3 are extrapolated to the Medline database (more than 17 million citations and growing steadily), then you would expect to find closer to 800,000 cases. Where between these two vastly different figures does the true number lie?

The academic arms race

Establishing a baseline is a crucial first step, but in our view, monitoring trends is even more important to the health of the scientific literature. As the number of peer-reviewed journals has multiplied, the perceived odds of unethical publications escaping detection have improved. Fortunately, the advent of new computational text-searching algorithms, along with electronic indexes or full-text electronic manuscripts, is also making it easier to detect unethical publications. Together, these advances enable not only the methodical discovery of individual incidents, but also a means to study broad trends.

Instead of relying on serendipity to identify duplicate articles, we have chosen to search online databases, such as Medline, using text-similarity software. The search engine, eTBLAST, is freely available online for anyone to use to search the literature4. In recent work, we have used eTBLAST to search a subset of more than 62,000 Medline abstracts from the past 12 years to identify highly similar entries5. The 421 potential duplicates found have been deposited in a publicly available database, Déjà vu (http://spore.swmed.edu/dejavu), and after manual inspection were confirmed as duplicates with different authors (0.04%; based on inspection of full-text articles), or duplicates with the same authors (1.35%; based on inspection of the abstracts). The rate of false positives in this study was only 1%. But without full text it may be difficult to determine if suspected duplicates properly attributed the earlier work. Whether or not the duplications are legitimate papers has yet to be established.

Extrapolating to the subset of Medline records that have abstracts (8.7 million), this would correspond to roughly 117,500 duplicates with the same authors4. Although this number is far higher than the 739 records currently annotated as duplicates in Medline, these duplication rates are substantially lower than those found in arXiv, perhaps reflecting differences in the database formats (preprints versus journal papers), or disparities between these fields in what is considered acceptable practice. There is also variation in how these estimates were reached, including the subjective nature of manual inspection (we used two manual checkers in each case). The Medline database, unlike arXiv, is limited to titles and abstracts, and so automated comparison of full-text articles is not possible, perhaps making it harder to detect more sophisticated duplications.

Closer than close

Because of the sheer size of the Medline database, scaling up the eTBLAST search to all 17 million records would be extremely time consuming even though each search takes only about 40 seconds. Fortunately, we observed that 73% of the Medline duplicates identified in our initial study and curated in Déjà vu also feature as the ‘most related article’ in Medline (calculated by a Medline algorithm). So, we downloaded the related abstracts for 7,064,721 Medline records, and compared the original and related abstracts against one another using eTBLAST. This approach allowed us to complete our analysis in 10 days rather than 10 years. In this way we have identified a further 70,458 highly similar records, all of which have been deposited in Déjà vu.

Given the limitations of our process, we expect around 50,000 of these to be true duplicates. This is partly because we used a less stringent duplication threshold for the latest data set and so after manual checking 27% of the records turn out to be false positives (see http://spore.swmed.edu/dejavu/statistics). To date, 2,600 of the Déjà vu records have been manually inspected alongside the original, but until that is done the status of each entry remains unverified. However, extrapolating to the entire database, we estimate there are potentially more than 200,000 duplicates in Medline, after various correction factors have been applied.

Although manual verification of the Déjà vu database is very much a work in progress, and so analysis of the full data set should be interpreted with caution, we have started looking for trends in the approximately 70,000 candidate duplicates.With the articles so far captured within the Déjà vu database, merged with analysis of other data extracted from full-text versions of Medline articles available in PubMed Central (such as publication date, language of article and country of origin), it is possible to begin to identify broad trends in publication behaviour. Perhaps the most obvious is a steady rise in the rate of such publications in the biomedical literature since 1975 (Figure 1).

Figure 1: Increasing opportunity?

Increasing opportunity? Unfortunately we are unable to provide accessible alternative text for this. If you require assistance to access this image, or to obtain a text description, please contact npg@nature.comThe number of biomedical papers indexed in the citation database, Medline, has grown steadily over the past 30 years. A search of 7 million abstracts, using the text-matching software eTBLAST, reveals tens of thousands of highly similar articles (unpublished data), which are also growing in number. Are these legitimate or illegitimate publications?


Medline indexes over 5,000 journals published in the United States and more than 80 other countries worldwide. Rising duplicate publication rates documented in Figure 1 are therefore a global phenomenon. Potential factors contributing to this trend are the explosion in the number of journals with online content (increasing opportunities for unethical copying), and a body of literature growing so fast that the risk of being detected seems to diminish. This last factor may be the most important, and we believe that automated detection processes that can provide an effective deterrent may be our best weapon in fighting duplicate publications.

One argument for duplicate publication is to make significant works available to a wider audience, especially in other languages. However, only 20% of manually verified duplicates in Déjà vu are translations into another language. What of the examples of text directly translated with no reference or credit to the original article? Is this justified or acceptable? And is such behaviour more widespread for review-type articles for which greater dissemination may be justified? We do not yet have answers to these questions.

In general, we find that the duplication rate extracted from the total Déjà vu database for each country is roughly proportional to the number of manuscripts that country contributes to Medline (Figure 2). The top eight contributors to Medline are the United States, Japan, Germany, China, the United Kingdom, Italy, France and Canada, representing close to 75% of all Medline records. However, two of these countries, China and Japan, have estimated duplication rates that are roughly twice that expected for the number of publications they contribute to Medline. Perhaps the complexity of translation between different scripts, differences in ethics training and cultural norms contribute to elevated duplication rates in these two countries.

Figure 2: Duplication is a global activity.

Duplication is a global activity. Unfortunately we are unable to provide accessible alternative text for this. If you require assistance to access this image, or to obtain a text description, please contact npg@nature.comThe proportion of suspected duplicates in the Déjà vu database for each country was estimated (unpublished data) by assigning articles to countries based on the corresponding author’s address. Also presented is each country’s relative contribution to Medline estimated from 180,000 randomly selected Medline articles.

Simultaneous submission

With few exceptions, the repeated publication of the same results by those who conducted the research is ethically questionable. It not only artificially inflates an author’s publication record but places an undue burden on journal editors and reviewers, and is expressly forbidden by most journal copyright rules.

Examination of typical submission and publication dates from 10,000 articles randomly selected from PubMed Central, shows that on average the review process takes 4.3 months and that 97% of articles complete this process within 10 months (see Supplementary information). Curiously, as many as one-third of the manually verified duplicate abstracts in Déjà vu sharing at least one author are also published less than five months after the original. Examination of the submission and publication dates of these pairs confirms that many of these duplicates must have been submitted simultaneously to different journals in violation of journal policies and accepted norms. For instance, the Déjà vu database contains many pairs of highly similar abstracts with overlapping authors that appear in the same month, all apparently acts of simultaneous submission to multiple journals.

Duplication by different authors

Articles sharing excessive similarity with other papers with different authors do not necessarily represent plagiarism, as there are sometimes valid or trivial reasons (such as a simple author name change). However, considering only those duplicates in Déjà vu where the full text of both articles has been manually inspected, we have found 73 plagiarism candidates, most of which were previously undetected. Discerning the difference between legitimate and illegitimate duplication is beyond the capacity of automated algorithms (and apparently many scientists), and so it is critical to withhold judgement of any candidate duplicates until evaluated by a suitable body such as an editorial board or a university ethics committee. As part of our study, we have started to send out requests for additional information for such cases, one of which has initiated an investigation by a journal. It is our intent to send such requests for information to all individuals and journals involved in, or affected by, duplicate records with different authors.

Automated text-matching systems are used by high schools and universities. We hold our children up to a higher standard than we do our scientists.

Many duplicate articles without authors in common go undiscovered. Are the perpetrators then likely to repeat the offence? Searching the Déjà vu database reveals several repeat practitioners, and manual inspection of full-text articles confirms some of these as suspected serial offenders. As with any potential illegitimate duplication, caution and careful human judgement must be exercised, and detailed comments and manual assessments for these and other duplicate pairs can be found within the Déjà vu database.

Unlike repeated publication by the same authors, simultaneous publication is rarely observed for duplicates that do not share authors (see Supplementary information), undoubtedly due to the fact that it is usually difficult to re-use someone else’s work before it appears in print — unless the duplicating author also happens to have been a referee of the original. Although anecdotes abound of referees stalling a publication in order to give themselves time to duplicate and publish the same result first, the general lack of duplicates with different authors appearing in rapid succession suggests that this is either rarer than feared, or that the perpetrators do a good job of concealing it.

In general, duplicates are often published in journals with lower impact factors (undoubtedly at least in part to minimize the odds of detection) but this does not prevent negative consequences — especially in clinical research. Duplication, particularly of the results of patient trials, can negatively affect the practice of medicine, as it can instill a false sense of confidence regarding the efficacy and safety of new drugs and procedures. There are very good reasons why multiple independent studies are required before a new medical practice makes it into the clinic, and duplicate publication subverts that crucial quality control (not to mention defrauding the original authors and journals).

What can be done?

Although duplicate publication and plagiarism are often discussed, it seems that discussion is not enough. Two important contributing factors are the level of confusion over acceptable publishing behaviour and the perception that there is a high likelihood of escaping detection. The lack of clear standards for what level of text and figure re-use is appropriate (for example in the introduction and methods) is a well known problem; but the belief that one can get away with re-use is probably the single most important factor.

The fear of having some transgression exposed in a public and embarrassing manner could be a very effective deterrent.

Addressing these two aspects could be relatively quick and easy. If journal editors were to use more frequently the new computational tools to detect incidents of duplicate publication — and advertise that they will do so — much of the problem is likely to take care of itself. We find it odd that automated text-matching systems are used regularly by high schools and universities, thereby enabling us to hold our children up to a higher standard than we do our scientists. In our view, it would be fairly simple to fold these tools into electronic-manuscript submission systems, making it a ubiquitous aspect of the publication process.

Although text-comparison algorithms have come a long way in the last decade, they are still in their infancy, and experience with student software shows that as tools to detect duplicate publication improve, determined and skilled cheats will find ways to defeat them. But as in any arms race, the winners are usually determined by the cost–benefit balance, and the costs entailed in unethical duplication practices will quickly rise to a level that makes them prohibitively expensive to all but the most desperate (or most skilled) practitioners.

There are additional practical avenues for improving Medline and other databases, such as more aggressive enforcement of copyrights by journals, and the creation of an ‘update’ publication category under which clinical updates and longitudinal surveys in sociology or psychology could be categorized, and these should be explored.

But above all, the fear of having some transgression exposed in a public and embarrassing manner could be a very effective deterrent. Like Dickens’s Ebenezer Scrooge, the spectre of being haunted by publications past may be enough to get unscrupulous scientists to change their ways.

References

  1. http://www.nlm.nih.gov/bsd/medline_cit_counts_yr_pub.html
  2. Sorokina, D., Gehrke, J., Warner, S. & Ginsparg, P. Sixth International Conference on Data Mining 1070–1075 (2006).
  3. Martinson, B. C., Anderson, M. S. & de Vries, R. Nature 435, 737–738 (2005). | Article | PubMed | ISI | ChemPort |
  4. Errami, M., Wren, J. D., Hicks, J. M. & Garner, H. R. Nucleic Acids Res. 35, W12-5 (2007). | Article | PubMed |
  5. Errami, M. et al. Bioinformatics advance online publication, doi:10.1093/bioinformatics/btm574 (2007).

Rindu

•December 3, 2007 • Leave a Comment

Dan ketika kerinduan itu datang,
Tak mengenal malam atau siang,
Tak mengenal pagi ataupun petang,
Dan hasrat semakin tinggi menjulang.

Kau yang disana,
Yang senantiasa merindukanku dengan segenap jiwa,
Yang senantiasa mengharapkanku dengan penuh cinta,
Dan yang senantiasa berdo’a untuk masa depan kita.

Aku yang disini,
Yang hati ini senantiasa mencinta dan dicintai,
Dengan sepenuh hati,
Dan segenap jiwa ini.

Kusimpan setiap kenangan indah bersamamu,
Ku terus buka setiap lembaran helaan nafasku,
Aliran darahku,
Yang diiringi dengan keindahan cintamu.

Cintaku,
Permataku,
Rinduku,
Ku selalu mencintaimu

-Khomaini Hasan-
Brno, CZ, 21.05 (GMT +1)

Senandung Pengungsi Chechnya

•December 3, 2007 • Leave a Comment

1 Desember 2007,

Udara makin dingin di kota Brno, Republik Ceko, pagi suhu bisa 2 derajat, tapi malam bisa turun menjadi -2. Kondisi yang tidak normal bagi saya yang berasal dari negara yang tropis seperti Indonesia. Tapi, semuanya -insya alloh- akan dijalani dengan baik.
Hari ini ada sesuatu yang menarik yang saya ingin berbagi kepada teman-teman.
Tadi jam 11 siang (bertepatan dengan waktu sholat dzuhur), saya datang ke mesjid jami, Brno. Setelah sekedar berbelanja di supermarket interspar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ketika saya masuk ke mesjid seraya mengucapkan salam, ada beberapa rekan yang menjawab salam saya dan mereka yang mendengar ucapan salam saya), pandangan saya tertuju pada 3 bocah yang sama sekali saya belum pernah lihat sebelumnya. Lalu saya bertanya kepada salah satu saudara muslim dari Libanon siapakah mereka. Lalu dia menjawab tiga orang bocah ini adalah 3 anak-anak pengungsi Chechnya (orang-orang Chechen) yang selamat dari serbuan pasukan Rusia.
Saya ternganga…APA??.
Mereka selamat dari serbuan mesin perang tentara Rusia. “UNBELIEVABLE”.
Lalu aku menanyakan nama mereka, kabar mereka, dan dari daerah asal mereka di Chechnya dalam bahasa Ceko. Mereka tidak bisa berbahasa Inggris. Wajah mereka “totally Rusian’s Faces”. Nama mereka, 2 bernama Muhammad dan 1 orang bernama Abdurahman.
Wow….ketika di Indonesia, kita yang di Indonesia memberikan nama anak-anak mereka yang berbau barat, justru mereka memberikan nama yang “completely different”. Mereka adalah muslim. Aku perkirakan umur mereka sekitar 8-10 tahun.
Mereka sholat Dzuhur dan Ashar bareng kami. Disela-sela antara Dzhuhur dan Ashar, mereka bertiga mendapatkan pengajaran membaca Al-Qur’an.
“TAKJUB”, mereka bisa membaca dengan Al-Qur’an dalam bahasa arab, walaupun aksen membaca mereka asing ditelinga saya. Tapi sungguh, ini membuat saya terkagum-kagum kepada mereka.

Semoga Alloh senantiasa melindungi mereka yang tertindas.

-Khomaini Hasan-
Brno, 1 Desember 2007

SURAT TERBUKA UNTUK INDONESIA DAN MALAYSIA

•December 3, 2007 • Leave a Comment

Brno, Republik Ceko, 2 Desember 2007,

Tulisan ini saya buat dengan melihat kenyataan yang ada.Surat ini saya tulis atas keprihatinan yang sangat mendalam setelah membaca postingan rekan saya di Indonesian Community tentang penganiayaan warga negara Indonesia di Malaysia. Saya mencatat ini kesekian kalinya, bahkan kesekianratus kalinya warga negara Indonesia dianiaya di Malaysia.

Saya tidak tahu, setan apa yang merasuk kepada orang-orang yang menganiaya warga negara Indonesia yang mempunyai tujuan mulia.

Kepada semua warga Malaysia
Sekedar anda ketahui, para Tenaga Kerja yang datang ke negeri Malaysia adalah orang-orang yang mempunyai tujuan mulia, Kalau tidak karena himpitan ekonomi yang melanda, mereka tidak akan pernah berpikir untuk jauh dari keluarga mereka. Saya mengetahui dengan persis salah seorang yang “TERPAKSA” merantau ke Malaysia, karena himpitan ekonomi, karena tanahnya telah dikuasai tuan tanah yang rakus. Sehingga saya bisa merasakan bagaimana sulitnya mereka.
Ketika anda “BARU DIBERIKAN KEMERDEKAAN OLEH INGGRIS”, kami dengan bangga menerima anda sekolah di universitas-universitas di Indonesia. Kampus UNPAD dan ITB tmenjadi saksi bisu bagaimana para pelajar Malaysia belajar kimia ditempat kami. Kami tahu, konsep “GANYANG MALAYSIA” yang pernah dicetuskan oleh Presiden pertama kami pasti membuat gentar anda. Tapi kami sadar, kami bukan bangsa penjajah. Kami adalah negara yang anti penjajahan seperti yang tercetus dalam undang-undang dasar negara kami.
Wasit yang mempunyai surat tugas dari organisasi internasional pun tanpa moral anda aniaya. Mau dimana muka anda diletakkan, ketika komunitas internasinal tahu (dan mereka semua sudah tahu). Seharusnya anda malu dengan perlakuan anda. Anda harus sadar, menara Petronas tidak akan pernah berdiri tanpa keringat-keringat warga negara Indonesia yang rela untuk berjibaku demi sesuap nasi untuk keluarga mereka. Kebun-kebun kelapa sawit anda tidak akan pernah tumbuh tanpa tangan-tangan terampil tenaga kerja Indonesia yang datang demi Ringgit anda. Jangan pernah sombong dengan kami. Kalau anda memiliki kehormatan…jagalah kehormatan itu dengan baik. Bukan dirusak oleh tangan-tangan kotor anda yang tak bermoral.

Kepada Warga Negara Indonesia, mari kita eratkan tali persaudaraan antara kita. Jauhi permusuhan. Kita pernah mengalami krisis horizontal dan multidimensi. Jadikan Iman dan rasa malu kita sebagai mahkota yang paling berharga. Letakkan hukum-hukum keagamaan sebagaimana mestinya. Mari kita bersatu padu, memperbaiki bangsa kita dengan cara yang kita mampu. Buat anda yang menjadi Ibu Rumah Tangga, mari kita didik anak-anak kita memiliki Iman dan rasa malu yang tinggi sehingga dimasa yang akan datang disaat kita tua, kita akan dipimpin oleh generasi yang memiliki iman dan rasa malu yang tinggi. Buat anda yang berkarir, bekerjalah dengan baik dengan niat ikhlas dan jujur untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga tidak ada satupun barang haram yang masuk ke dalama tubuh kita, keluarga kita dan generasi penerus kita. Bagi anda yang seorang siswa, atau mahasiswa, belajarlah dengan baik dengan niat ikhlas dan jujur sehingga anda-anda semua menjadi generasi penerus bangsa yang baik dan jujur, dan memiliki rasa malu dan tanggung jawab yang tinggi.

Dan akhirnya bagi Anda yang sekarang duduk sebagai pemegang kekuasaan,

jangan sibuk dengan berapa uang pensiun yang akan anda dapat setelah anda tidak berkuasa lagi, jangan sibuk mengisi perut anda dengan uang-uang haram hasil keringat rakyat. Anda lihat, rakyat sudah menderita, warga negara diinjak-injak kehormatannya, dianiaya, dibunuh, dan dibuat laksana binatang. Pada jaman dulu, seorang gadis muslim yang diganggu kehormatan oleh orang tak bermoral, maka sang pemimpin mengirimkan lebih dari 5000 tentaranya untuk mengusir mereka…..bayangkan 5000 tentara hanya untuk seorang gadis. Anda semua sibuk mempercantik istana-istana anda di senayan, mempercantik rumah-rumah anda….anda tidak pernah melihat bagaimana rakyat jelata menangis, dibohongi oleh orang-orang yang membodohi rakyat, tanah-tanah mereka di rampas oleh orang-orang yang boleh jadi mereka esok hari akan mati. Rakyat hanya butuh makan untuk meneruskan nafas mereka hari ini, besok, lusa, dan seterusnya. Mereka tidak membutuhkan tanda tangan anda, janji-janji muluk anda yang anda ucapkan tanpa anda penuhi. MEREKA HANYA BUTUH MAKAN !!!….Tidak lebih.

Buat anda yang sudah memenuhi perut dengan uang haram keringat rakyat…MALULAH dan SEGERA BERTOBAT. TUHAN TIDAK AKAN PERNAH MENERIMA SETIAP AMAL SEDEKAH ANDA YANG BERASAL DARI UANG HARAM….CAM KAN ITU!!!

Salam
Khomaini Hasan

Ternyata mimpi tiada yang sempurna

•November 13, 2007 • Leave a Comment

Suatu ketika aku tertidur. Entah kenapa aku terlibat disuatu mimpi yang aku sendiri masih mengingatnya secara detail. Mungkin beberapa temenku telah ku ceritakan mimpi ini. Tapi semuanya……semuanya tak mengerti. Yang mereka tahu mimpi itu adalah suatu mimpi yang menakutkan. Mungkin mimpi ini terjadi karena khayalanku yang terlalu tinggi. Mimpiku di masa depan yang seakan-akan terbang bagaikan angan-angan yang tertiup angin.

Aku bermimpi menjadi seorang detektif yang sedang menyelidiki suatu kasus mafia. Aku dan rekanku dan beberapa anak buah kami melakukan penyergapan terhadap markas mafia itu.

Di saat terjadi pertempuran yang sengit aku melihat rekanku tertembak oleh salah satu anggota mafia….dan aku melihat dengan mata kepalaku sendiri sesuatu keluar dari jasad rekanku…yah….sesuatu itu adalah ruh yang mendiami jasad rekanku. Dia keluar dan melambaikan tangannya kepadaku seraya tersenyum. Dan ruh itu hilang terbang ke atas langit.

Tanpa sengaja, aku kehilangan konsentrasi karena takjub melihat kejadian yang menimpa rekanku. Dan selongsong peluru menembus dadaku. Sungguh sakit!!…namun setelah itu. Aku merasa jiwaku keluar dari jasadku yang berlumuran darah disekitar dadaku. Ku tatap tubuhku yang terkoyak tak berdaya ditembaki oleh ratusan selongsong peluru dari senjata-senjata musuh. Namun aku tak merasakan sakit.

Sementara aku terbang menuju keatas, tiba-tiba sesosok bayangan putih bersih dan begitu mempesona menghampiri diriku seraya mengatakan: “Terbanglah terus keatas hingga kau temukan suatu jalan kecil yang gelap. Teruslah meniti jalan tersebut, jangan pernah berbelok ke kanan atau ke kiri, walaupun yang sebelah kanan atau pun kiri lebih mempesona dirimu daripada jalan yang lurus tak berujung. Teruslah meniti”. Lalu sosok bayangan itu pun menghilang. Apakah itu malaikat?? (Wallohu A’lam) Aku tak pernah bertemu malaikat.

Lalu jiwaku terbang terus ke atas. Kulihat sebelah kanan dan kiri langit luas ditaburi bintang-bintang nan indah. Aku tak tahu apakah ini adalah sekedar khayalanku???? Tapi, mimpi ini seakan nyata bagiku. Terus ku terbang…terbang…hingga aku mencapai suatu jalan seperti yang digambarkan sosok bayangan putih tadi.

Ku mulai naik, dan meniti jalan tersebut. Benar-benar jalan yang panjang, seakan tak berujung. Dan kutengok sebelah kanan dan kiri dari jalan tersebut. Dan sungguh!!! jalan itu bercabang disebalah kanan dan kirinya. Dan benar sebelah kanan dan kiriku terhampar kebun dan keindahan yang tak bisa kuceritakan. Sungguh indah!. Ada keinginan untuk mencoba sedikit merasakan keindahan tersebut…tapi, kata hatiku mengatakan TIDAK!. Kupaksakan meniti jalan yang lurus itu dan gelap. Aku sama sekali tidak melihat ujung dari jalan tersebut. Sungguh gelap!…

Ku jalan terus…meniti jalan tersebut….hingga akhirnya…. diujung jalan tersebut ku temukan sebuah gubuk kecil yang sama sekali tak nampak indah. Tiada keinginan hati untuk menginjakkan kaki diatas gubuk tersebut keinginan hati lebih cenderung membawa diriku ke taman-taman dan kebun yang kulalui disisi jalan tadi. Tapi kata hati mengatakan aku harus mengikuti dan menginjakkan kaki digubuk tersebut.

Kuketuk gubuk tersebut seraya mengucapkan salam. “Assalamu’alaykum”……. dan keluarlah seorang nenek tua, seraya berkata: “Walaykum salam warohmatulloh, Khomaini, silahkan masuk, kami sudah menunggumu”. “Kami?” kata hatiku bertanya. Apakah begitu banyak orang yang menungguku?. Sedangkan aku hanya manusia biasa yang tiada daya upaya. Hanya seorang manusia lemah?. Lalu sang nenek itupun mempersilahkan masuk….dan apa yang kutemui didalam gubuk itu?

lembaran-lembaran kertas yang tiada ujung. Aku tak tahu apa lembaran kertas tersebut?. Disisi lain dari gubuk itu, kulihat, rekanku sedang duduk, dan menunggu sesuatu dan dia menatap kepadaku dengan senyum tanpa mengucapkan sepatah katapun kepada ku. Hanya tersenyum..apa artinya ini??.

Lalu dia berdiri, berjalan, dan kemudian masuk kesalah satu pintu lain dari gubuk itu.  Terbukalah pintu itu….Aku berusaha melihat apa yang ada dibalik pintu itu…Tapi tak kuasa!!!. Lalu rekan kuhilang entah kemana.

Ketakutan mencekam di jiwaku. Aku tak dapat tersenyum layaknya rekanku lakukan. Keringat mengucur disekujur tubuhku….Yang ku ingat hanya dosa-dosa yang aku buat selama ini….ya…selama ini.

Lalu sang nenek memberikan lembaran yang kulihat tadi dengan tersenyum. Tanpa kusadari sang nenek telah melipat lembaran tadi menjadi rapih. Sang nenek menunjuk ke arah pintu yang dimasuki oleh rekanku tadi. O, rupanya dia menyuruhku menuju pintu tadi. Ketakutan semakin memuncak…..kubawa lembaran dengan tangan bergetar dan keringat semakin mengucur disekujur tubuhku. Ketakutan semakin mencekam. Hingga suatu saat aku sudah berada didepan pintu tersebut. Kugerakkan tanganku dan meraih gagang pintu. Dan kutarik ke bawah………………….dan pintu itupun terbuka. Dan apa yang kulihat……………………

Aku terbangun dipagi hari oleh suara Adzan Shubuh dimenara mesjid dekat rumahku. Peluh keringat mengucur dikeningku…dan terus mengucur. Kuseka dan ku berjalan menuju kamar mandi rumahku untuk berwudhu. Aku terus merenungi mimpiku. Dan sampai detik ini aku masih tak tahu apa yang kulihat dibalik pintu itu.

Ternyata mimpi tiada yang sempurna….

Dan aku terus mengingat mimpi itu. Sebagian mengatakan mimpi adalah bunga tidur. Tapi bagiku mimpi adalah suatu pelajaran hidup yang mungkin suatu saat akan kita lalui dengan dimensi Ilahi.

Sayang, permataku, Cintaku, Zaujati,

•November 13, 2007 • Leave a Comment

Tidak terasa umur kita sudah menginjak usia 28 tahun,
berarti semakin banyak tantangan yang akan dihadapi.
Aku suami berpesan untuk mu wahai cintaku:

Kau adalah wanita,
maka jadilah wanita,
yang senantiasa mencintai,
dan senatiasa di cintai.

Jangan pernah ragu,
aku suamimu,
senantiasa mencintaimu setiap detik dari helaan nafasku,
dari detak jantungku,
dari waktu yang kujalani dengan atau tanpamu di sisiku.

Cintaku kepadamu,
adalah cinta yang hadir karena kecintaanku kepada Rabb-ku dan Rosul-Nya.
Rabb-ku, dengan segala kuasa-Nya,
telah menghadirkan dirimu dalam kehidupanku,
dan mentakdirkan kau menjadi pendamping hidupku tanpa ku ketahui sebelumnya.

Kau yang menjadikan aku,
suamimu yang lemah ini,
semakin mengenal dan mencintai Rabb-Ku dan Rosul-Nya dengan cara yang benar,
sehingga tidak ada alasan untukku untuk tidak pernah mencintaimu sepanjang hidupku,
Kau hadir memberikan suasana cerah dan warna yang indah untuk hidupku yang fana.

Wahai isteriku,
di tengah tangisan rinduku kepadamu,
di setiap helaan nafas kesendirianku
di setiap sujud panjang dan ruku-ku
Hanya Do’a yang terbaik,
yang senantiasa kupanjatkan hanya untuk orang yang dicintai oleh ku dan mencintai diriku.
Dan itu adalah engkau dan kedua orang tuaku.

Jangan pernah takut menghadapi hidup ini,
Kupilih engkau sebagai isteriku karena engkau wanita muslimah yang senantiasa diharapkan kehadirannya untuk Islam,
Kupilih engkau karena engkau adalah wanita yang tangguh nan lembut,
Kupilih engkau karena engkau cantik paras dan berhati mulia,
dan Kupilih engkau karena engkau memiliki kekayaan jiwa nan subur yang tak ada taranya.

Demi Alloh,
Aku,
suamimu yang dho’if,
Sungguh beruntung memiliki Isteri sepertimu,
dan aku menjadi orang yang paling beruntung dan paling kaya,
karena memiliki engkau wahai permataku.

Isteriku,
Terima kasih atas semua cinta tulusmu,
dan dorongan yang kau berikan untukku,
dan maafkan aku karena kelalaian ku
dan dosaku kepadamu,
masa lalu, kini, dan masa yang datang.

Isteriku,
Aku mencintaimu….

-Khomaini Hasan-
Loschmidt Laboratories
13.55 pm, 15 August 2007

Kisah Si Miskin

•November 13, 2007 • Leave a Comment

Tujuh belas Agustus tahun dua ribu lima,

Ketika setiap pekikan merdeka menjadi hiasan mulut setiap manusia Indonesia,

Ketika setiap nafas di negeri ini merindukan suara proklamasi empat puluh lima,

Dan ketika setiap jiwa menikmati kemerdekaan yang  tak bernyawa.

 

Disana!!,

 

Jauh disudut kota Jakarta Raya,

Jauh dari gemerlapnya gempita suasana merdeka,

Seorang miskin yang kurus, berkulit hitam legam yang laksana tak bernyawa,

Bertelanjang dada, tanpa baju, dan bercelana.

 

Mengais  tumpukan sampah yang ada,

Ditemani ribuan lalat hijau yang terbang tanpa cela,

Tanpa malu menyelimuti jiwanya,

Demi sesuap nasi untuk raganya.

 

Sementara itu di Istana sana,

Para pembesar-pembesar menikmati nikmatnya kemewahan yang ada,

Tertawa lebar tanpa kekhawatiran yang melanda,

Tanpa senyum simpul dengan kekenyangan yang tiada tara.

 

Perut-perut mereka kini bergeser mendahului mereka,

Baju safari dan pakaian mewah hasil setiap nafas para jiwa,

Keringat, peluh, dari insan-insan yang semuanya berdosa,

Pun tanpa malu mereka kenakan dengan bangga.

 

Diskusi tentang bocah kecil nan kurus laksana tak bernyawa itu dihiasi dengan tawa diantara mereka,

Dan disela itu pun, para mereka masih sempat menikmati makanan yang nikmat tiada tara,

Tanpa rasa malu, mereka pun berlomba-lomba berteriak “SAYA AKAN MEMBELA ANDA”,

Namun teriakan itu sirna, dan si miskin pun kembali berkaca-kaca.

 

Mungkin si miskin pun bertanya-tanya,

Mengapa hidupnya selalu diselimuti janji-janji tak nyata,

Teriakan-teriakan pembelaan tak berjiwa,

Ucapan-ucapan manis yang indah ditelinganya.

 

Hingga si miskin pun menyadarinya,

Kalau hidupnya tidak akan pernah seindah pembesar-pembesar di Istana sana,

Ketika satu tarikan nafasnya memberikan semangat hidupnya,

Itu jauh lebih baik daripada dia berselimutkan harta haram yang berlumur dosa.

 

Kini, si miskin pun lega,

Janji-janji itu pun tidak dia dengar ditelinganya,

Dia menutup matanya,

Ketika jiwa raganya kembali Keharibaan-Nya.

 

 

Khomaini Hasan

Brno, Oktober 18, 2007